Pernah jengkel dengan kondisi negara kita saat ini? Saya yakin, banyak dari kita yang pernah merasa kesal dan jenuh dengan kondisi bangsa kita. Terutama jika melihat berita-berita dan penetapan-penetapan kebijakan-kebijakan yang seolah tidak tuntas, kebijakan yang bertabrakan, atau kebijakan yang berdampak pada uang belanja dan pendidikan.
Sebut saja, kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak, yang berdampak pada naiknya biaya transportasi, naiknya harga beras, telur, dan naiknya harga bahan pokok lainnya, sehingga ibu-ibu harus memutar dompet dan panci agar dapur tetap mengepul tanpa meningkatkan pinjaman di tukang sayur dan toko kelontong.
(@Sidoarjo) |
Surabaya di Rembang Petang .... |
Ya, ternyata kejengkelan dan kejengahan itu adalah bentuk dari rasa cinta kita pada bangsa kita. Karena kita tidak ingin bangsa kita berada pada kondisi yang tidak menyenangkan.
Dan, itu saya alami sendiri. Ternyata saya sangat mencintai negara ini saat saya tidak berada di negeri yang telah membesarkan saya ini. Negeri yang darinya saya makan, minum, bermain, dan belajar, serta mendapatkan keluarga.
Saat itu, saya merasakan 'sakit' yang amat dalam saat saya berada di Kuala Lumpur, Malaysia. Sakit karena hati saya tersentil dengan sentimen kecemburuan dan ketidakrelaan. Saat itu saya tengah terlibat dalam perjalanan bersama tiga orang awak media dari Indonesia dan beberapa karyawan salah satu BUMN di Indonesia yang tengah ekspansi ke negara tersebut (dan kebetulan, saya adalah satu-satunya perwakilan blogger dalam perjalanan itu).
Nah, kebetulan malam itu adalah malam terakhir perjalanan kami, setelah dua hari menelusuri sudut-sudut kota dan beberapa area wisata di sana. Malam itu, kami diajak belanja-belanja souvenir untuk oleh-oleh saat pulang ke Indonesia keesokan harinya. Souvenir pun berserakan rapi dari stand ke stand lainnya. Harganya lumayan murah. Jadi, kita bisa beli banyak-banyak. Bisa ditawar lagi.
Saya pun sudah memilih-milih aneka t-shirt dengan tulisan "I Love KL", "I Love Malaysia", dan ragam tulisan ungkapan cinta bangsa. Ada juga yang dalam bentuk gambar, seperti gambar menara Petronas, gambar pakaian adat, pantai wisata, dan lain-lainnya. Pastinya, ada juga pernak-pernik dan ragam miniatur simbol negara ini.
Namun, tiba-tiba tangan saya terhenti untuk memilih dan memilah ragam souvenir tersebut. Ada suatu rasa yang menyelinap di relung hati saya, yang menyebabkan saya menghentikan gerak tangan saya.
Dan, saya pun mundur dari barisan.
Saya tidak ingin anak-anak saya memakai t-shirt bergambar simbol negara lain. Saya tidak ingin anak-anak saya memakai t-shirt bertuliskan ungkapan rasa cinta kepada negara lain.
Senyum Manis Merah Putih (@home, Surabaya) |
Owh, ternyata saya masih cinta Indonesia. Sakit hati ini terasa. Ada ketidakrelaan saat membaca tulisan di t-shirt-t-shirt itu. Saat itu, justru terbetik dalam hatiku untuk mengeluarkan desain t-shirt untuk mensosialisasikan rasa cinta anak-anak dan remaja kita kepada bangsa Indonesia. Karena ternyata aku masih cinta Indonesia. Yang semua itu aku sadari saat aku meninggalkan Indonesia, hanya dalam hitungan hari.
Tidak sabar rasanya untuk segera mendarat di Juanda, bertemu dengan keluarga dan peluk hangat mereka ....
Rasa syukur tidak berhenti selama dalam penerbangan. Saya bertukar kursi dengan salah seorang penumpang dari Kalimantan Utara agar saya bisa duduk di sisi jendela. Saya ingin menengok ke luar jendela, menikmati hamparan udara nusantara raya dari atas langit.
Dan, saya pun tidak berhenti melihat ke bawah, begitu penerbangan sudah mulai mendekat Juanda. Kerlap-kerlip lampu di petang itu membuncahkan rasa syukur tidak terkira.
Dan akhirnya ... sampailah saya kembali di tengah desakan antrian yang kadang harus rela mengalah dari serobotan pengantri yang lain. Yang selama di Kuala Lumpur saya tidak mengalami adanya serobotan-serobotan semacam itu, karena antrian berlaku sangat teratur.
Saya juga kembali terjebak dalam kemacetan jalan, berhenti di lampu merah dengan pemandangan pedagang asongan dan pengamen. Juga mengikuti antrian saat mengisi bensin di Pom Bensin, dan menikmati naik turunnya harga premium akhir-akhir ini.
Rute Surabaya-Malang |
Tapi, di situlah seninya negeriku. Semua berproses dalam keramahan dan kebersamaan. Yang ternyata saya kangen dengan kejadian-kejadian yang menjengkelkan itu. Yang semuanya ternyata mengajarkan local wisdom, kesabaran, mengalah untuk merasakan nikmatnya kemenangan, kebersamaan dan keguyuban ....
Di dalam kesabaran dan kemengalahan ada banyak keindahan, ketenangan, keberasalan. Di dalamnya saya mulai bernafas dan hidup ....
Di dalam kesabaran dan kemengalahan ada banyak keindahan, ketenangan, keberasalan. Di dalamnya saya mulai bernafas dan hidup ....
Terlalu Banyak Keindahan yang Tersurat (@Pandaan, Pasuruan) |
Hamparan Cita dan Cinta dalam Deru Pantura (@ Pantai Utara, Tuban) |
Tumbuh menyatu bersama alam Indonesia (@ pantai utara, Tuban) |
Dari sana kami berproses (@Pantai Utara, Tuban) |
Birunya Lautku, Birunya Kehidupan (@Pantai Kenjeran, Surabaya) |
Pahatan Keindahan Kehidupan Negeri (Rute Paciran-Tuban) |
Lebatnya Hutan, Kesyukuran yang Dalam (@Pandaan, Pasuruan) |
Indahnya Negeriku (@Pasuruan-Malang) |
Bahkan Makanan pun Tersaji dalam Kebersamaan dan Kebhinekaan (Surabaya) |
No comments:
Post a Comment