It's Okay If You're Not Okay

Yolanda Putih di Depan Rumah @floragardenmama Ketika kita bisa memaafkan orang lain, lalu mengapa kita tidak bisa memaafkan diri sen...

Saturday, August 10, 2019

Perpustakaan Keluarga, Membangun Keakraban dengan Buku Sejak Dini

Suatu pagi menyambut siang. 

Si kakak kedua mengeluh kepada Bapak, "Abisnya kalau tanya ke Mama, mesti jawabnya Mama, "ya dibaca dulu dong". Masa iya, kita tanya, tapi gak dikasih jawaban. Malah disuruh membaca. "
Mama menoleh ke arah keduanya,"Lo, yang menyuruh membaca itu bukan Mama. Tapi itu perintah Alloh. Apa coba ayat pertama yang disampaikan kepada Rosul? Iqro' kan?"
Bapak dan anak gadisnya terdiam dan menoleh ke Mama.
"Membaca, membaca, membaca. Membaca itu membaca apa saja. Apalagi sekarang bisa lebih mudah. Jika malas buka buku, itu di internet banyak e-book atau google book yang lebih mudah dalam menelusur apa pun informasi yang ingin kita cari," Cerocos Mama.
"Nah, bener itu Kak, apa kata Mama," Lanjut Bapak sambil mengerjap ke arah Mama yang tiba-tiba jadi cerewet. Dan, si kakak kedua pun mengangkat alisnya lalu kembali menekan tuts-tuts keyboard laptopnya. 
Pic. Ig @floragardenmama
Itu adalah sekilas percakapan pagi kami. Kakak yang tengah membutuhkan banyak informasi untuk menulis paper, ditegur oleh Bapak, karena papernya tidak kunjung selesai juga. Dan alasan yang dikemukakan Kakak adalah karena Mama yang tidak langsung membantu Kakak, tetapi justru menyuruh Kakak membaca. 

Bagi Mama, seseorang bisa menulis dengan lancar dan menyampaikan ide-ide kreatifnya- baik secara lisan maupun tulisan- dengan baik, jika dilandasi dengan pengetahuan sebelumnya. Pengetahuan ini bisa diperoleh dari membaca apa yang dilihat dan didengarkan, atau apa yang dialami. Jadi kuncinya adalah membaca. 

Fenomenanya sekarang adalah anak-anak generasi milenial yang cenderung memiliki orangtua yang melek huruf dan berpendidikan minimal Sekolah Menengah Atas, bahkan Strata 1 dengan pengalaman yang lebih luas. Bagaimana tidak? Orangtua dan para Nenek muda zaman sekarang terlahir dari orangtua zaman dulu yang rata-rata masih buta huruf atau setidaknya berpendidikan sekolah rakyat. Orang-orang yang melalui masa kecilnya secara alami dengan teknologi sederhana, sehingga tertempa untuk lebih siap dalam menjalani rona kehidupan. Baik tantangan maupun kemulusan jalan. 

Orangtua dan nenek kakek zaman sekarang juga dikenalkan dengan kecanggihan gadget yang banyak digunakan para milenial. Dengan demikian, kajian dan wacananya bisa meluas. Sementara para anak milenial langsung dihadapkan dengan penggunaan gadget dan segala sesuatu yang lebih instan. Itulah mengapa anak-anak milenial lebih mengandalkan bertanya dan mengabaikan budaya membaca. Orangtua dan para nenek kakek muda yang berwacana luas dan dalam adalah sumber informasi bagi anak-anak milenial. 

Tapi, apakah harus membiarkan kebiasaan itu berlanjut? Tentu saja tidak. Karena, bagaimanapun keluasan wacana orangtua ada batasnya. Dan, anak-anak juga harus diajarkan proses. Proses penggalian informasi dan pengolahan informasi, sampai pada penyampaian informasi kepada orang lain. Itulah mengapa, saya, sebagai Mama juga sangat mendukung anak-anak untuk membaca.

Si Kecil Ikut Meniru Menulis (Doc. pribadi on Ig @elisshofiyatin)
Kalau di masa kecil saya dulu, membaca buku itu adalah kesenangan saya sejak kelas empat Madrasah Ibtidaiyah. (Kalau sebelumnya, ya so pasti saya lebih suka membolang keliling kampung keliling sawah bersama teman sekampung sepermainan). Saat itu, Bapak saya yang seorang guru dan sekaligus Kepala Sekolah di Madrasah Ibtidaiyah, menjadikan rak besar di rumah sebagai penampung buku perpustakaan sekolah, karena sekolah pada masa lalu belum punya rak buku.  Jadi, hampir setiap hari saya membaca buku dengan beragam genre. Mulai roman picisan Sebuah Makhluk Mungilnya karangan Kathyusa yang melemparkan dunia seragam putih merah saya menuju seragam putih biru; Oliver Twist-nya Charles Dickens; Le Petit Prince dari Antoine de Saint-Exupéry yang mampu melayangkan imajinasi saya tentang dunia di luar bumi; Josephine seorang anak pendeta yang memanggil ayahnya dengan panggilan ayah bapa; Petualangan Lima Sekawan Enid Blyton yang terdiri banyak seri; Marsudi Anak Tiri dari Desa Waleri buah tulisannya D. Kusuma yang bikin saya menangis sendiri; naskah drama Mencari Taman-nya Noorca M. Massardi yang semakin meliarkan imajinasi saya.

Kemudian ragam buku seri ilmu pengetahuan, sampai buku 30 Tahun Indonesia Merdeka pun saya lahap jilid demi jilid. Hingga banyak ragam kisah dan dongeng dari belahan dunia yang masuk ke benak saya. Dan, pikiran saya sudah mulai menjelajah dunia dengan imajinasi-imajinasi saya.


Dari membaca itu, saya belajar mengenal ajaran ragam agama, budaya, adat istiadat, perilaku baik dan buruk, ragam ketrampilan, aneka tanaman, dan sebagainya. Dari membaca, saya juga mengenal banyak tokoh seperti Pak Tino Siddin, pelukis Affandi, Basuki Rahmat, Wright Bersaudara, Einstein, Plato, Tomas Alfa Edison, Florence Nightingale, Mochtar Lubis, Hellen Keller, Archimedses, Socrates, Aristoteles, Beethoven, William Shakespeare, dan masih banyak lagi.

Dari membaca itu, saya merasakan betapa dunia saya yang sangat luas di dalam bilik sempit saya. Dan saat ke luar rumah, betapa saya merasa udara bebas dan sinar matahari telah mengumpulkan banyak kisah yang juga harus saya baca.

Dari membaca, saya jadi bisa lebih banyak tahu informasi yang tidak diperoleh dari sekolah. Imajinasi pun tumbuh 'meliar' dan mendorong saya untuk melakukan banyak hobi. Mulai memasak meskipun harus bergosong-gosong, menulis puisi berlembar-lembar, membuat ragam kliping (mulai kliping majalah dan koran sampai kliping gambar di kain perca), bertanam, dan bahkan bermain sulap sederhana. Bisa dibayangkan kan, bagaimana setelah membaca buku ragam tanaman dan kemudian di belakang rumah menjadi penuh dengan tanaman yang saya ambil dari teman-teman sekampung maupun dari hutan? Mulai tanaman Pare, bebungaan, sampai pohon bunga Sangga Langit yang merimbun. Dan, bahkan sampai saya rela bergatal-gatal ria hanya karena salah menerjemahkan bunga Rawe nan gatal itu.

Lucunya, saya tidak hanya membaca buku saja. Bahkan ibu saya sampai heran karena saya mengumpukan bungkus bekas, baik itu koran, majalah, maupun bekas bungkus packaging. Dan, itu semua dimaklumi oleh orangtua saya waktu itu dan membiarkan saya menata bungkus-bungkus itu di 'ruangan' saya.

Kebiasaan membaca buku-buku tersebut berdampak pada kebiasaan saya dalam belajar. Saya selalu membaca buku pelajaran dan menghabiskannya dengan cepat. Jadi, sebelum diajarkan oleh guru di sekolah, buku-buku pelajaran yang dipinjamkan secara gratis sudah habis saya baca duluan sebelum diajarkan di sekolah.  Saya juga menjadi lebih dahulu tahu mengenai sesuatu yang berkaitan dengan pelajaran, meskipun materi tersebut belum atau tidak ada di buku pelajaran sekolah.

Deretan Buku di Rak Perpustakaan Sederhana di Rumah (Doc. Pribadi)
Banyaknya keuntungan dari kebiasaan membaca di masa kecil itu mendorong saya untuk membuat perpustakaan kecil di rumah saat saya sudah berkeluarga.

Caranya sederhana saja.
Pengumpulan bukunya dimulai dari kebiasaan kecil anak-anak, yaitu dengan membeli buku bacaan buat anak-anak. Pastinya, buku-buku tersebut adalah pilihan mereka, supaya mereka tertarik untuk membacanya. Dari buku-buku itu kami susun di rak buku sederhana menjadi sebuah perpustakaan mini di rumah. Untuk meluaskan koleksi, saya juga turut menyumbang buku-buku di perpustakaan keluarga. Pastinya pembelian buku ini perlu strategi Mama untuk menyelipkan anggaran di sela-sela anggaran pendapatan dan belanja negara, eh keluarga maksudnya. 

Mengapa harus perpustakaan di rumah? 

Anak-anak di sekitar pun bisa turut membaca buku di rumah (doc. Pribadi)
Jika koleksi buku sudah tersedia di rumah, maka akan banyak manfaat yang bisa diperoleh. Misalnya:
  1. Lebih mendekatkan si kecil kepada buku. Jadi, anak-anak akan terbiasa melihat anggota keluarga lain yang membaca buku dan kemudian menirunya. Nah, ini akan meluaskan wawasan dan wacana anak. 
  2. Mama dan Bapak juga akan lebih mudah mengontrol apa yang dibaca anak-anak. Setidaknya, Mama dan Bapak akan bisa mengikuti cerita anak-anak, sehingga gap komunikasi antara anak dan orangtua akan lebih terminimalisasi. 
  3. Mama dan Bapak akan memahami jika anak-anak tiba-tiba memiliki hobi baru atau kebiasaan baru. Jika anak-anak membutuhkan dukungan maka Mama dan Bapak akan lebih mudah mengikutinya atau bahkan mengawasi dengan lebih fleksibel. 
  4. Membuka kesempatan untuk berbagi dengan anak-anak sekitar ataupun saudara untuk meminjam buku. Baik dibaca di tempat maupun dibawa pulang. 
  5. Membangun kerjasama dan keakraban anggota keluarga saat mengklasifikasi dan merapikan buku, serta membersihkan rak. 
  6. Mengajarkan ketekunan pada anak saat memberi label pada buku dan membuat tabel koleksi buku. 
  7. Mengintegrasikan koleksi fisik buku dengan koleksi digital. Supaya menarik anak untuk membaca dan menambah koleksi, Mama dan Bapak bisa mengajak anak untuk melihat review buku yang disampaikan oleh orang lain melalui media internet. Hal ini akan membantu mempositifkan penggunaan gadget pada anak. 
Pada hakikatnya, banyak manfaat perpustakaan di rumah. Manfaat ini akan dapat diperoleh jika ada peran Mama dan Bapak dalam menggerakkan diri dan anak-anak untuk  berpartisipasi dalam meramaikan koleksi buku dan membacanya bersama-sama.





Akhirnya, 
Membaca adalah membuka jendela untuk melihat luasnya dunia, menghirup segarnya udara bebas. Membaca akan meluaskan wacana, melenturkan pola pikir dan pola perilaku, menjangkau jarak keilmuan dan menyehatkan rohani dan jasmani.
Membaca dan menulis adalah bentuk kemampuan literasi dasar yang di dalamnya melibatkan proses pembiasaaan dan penauladanan dari orangtua, sehingga akan menjadi keterampilan yang melekat dalam pribadi anak.


No comments:

Post a Comment

About Me

Just a little bit of woman, mom, and wife ...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...